Puluhan Tahun Kakek ini Hidup Sebatang Kara di Lereng Gunung
AKTUALITA.INFO , Dompu – Arsyad, warga Desa Marada, Kecamatan Hu`u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, terbilang memiliki usia paling tu...
7/15/2016 02:51:00 AM
https://www.aktualita.info/2016/07/puluhan-tahun-kakek-ini-hidup-sebatang.html
AKTUALITA.INFO, Dompu – Arsyad, warga Desa Marada, Kecamatan Hu`u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, terbilang memiliki usia paling tua di Dompu. Menurut pengakuan kerabat dan warga sekitar, usia Arsyad seabad lebih.
Kakek Sao di atas gubuk reotnya di lereng gunung Desa Marada. foto: yani |
Arsyad yang biasa dipanggil Kakek Sao ini tidak memiliki rumah. Dia hidup sebatang kara di gubuk reot miliknya yang berukuran 1x2 meter. Jauh dari pemukiman warga di lereng gunung Desa Marada. Gubuk reotnya hanya beratapkan terpal dan berdinding sisa bungkusan Semen.
Tubuhnya yang lesu berbalut pakaian yang kusam dan lusuh, melemparkan senyum ketika mendengar salam saat Aktualita.info bertandang ke gubuknya, Kamis (14/7). Kakek Sao tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa berbahasa daerah (Mbojo). Namun Kakek Sao fasih berbahasa Nipon (bahasa Jepang). Betapa tidak umurnya satu abad lebih itu pernah merasakan pahitnya hidup di masa penjajahan Jepang dan Belanda.
Walaupun pendengarannya sedikit terganggu, namun Kakek Sao masih bisa menceritakan sejarah hidupnya. Meski sesekali harus dipandu dengan bahasa isyarat.
Dalam percakapan yang ada, Kakek Sao punya cerita tersendiri tentang sejarah penjajahan Belanda dan Jepang. Terutama dalam pembuatan Gua Jepang yang terletak di Desa Hu'u, Kecamatan Hu'u.
Dari penuturannya, pembuatan Gua Jepang yang kini menjadi salah satu situs bersejarah itu melibatkan tenaga romusa ratusan orang termasuk dirinya. Namun Kakek Sao lupa berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannnya. "Kami harus menggali gunung untuk membuat terowongan gua itu," kisahnya.
Kakek Sao adalah salah satu pribumi yang menjadi langganan Jepang untuk diperkerjakan secara paksa. Setiap berangkat dan pulang kerja, Kakek Sao melantunkan lagu-lagu Jepang yang diajarkan. Sehingga tidaklah heran Kakek Sao sangat hafal dengan lagu-lagu Jepang dan kerap dilantunkan untuk mengisi kesehariannya di pinggir sungai.
Untuk menyambung hidup selama ini, Kakek Sao hanya mengadalkan pohon bambu dan buah asam yang jatuh di dekat gubuknya. Bambu dan buah asam dijual atau dibarter dengan beras dan ikan untuk makan.
Gubuk reot tempatnya berteduh di bagian tengah dibuatkan lubang yang tujuannya apabila hujan turun, dirinya bisa langsung turun ke bawah agar tidak kehujanan. Untuk mengambil kayu api buat keperluan memasak, Kakek Sao harus tertatih tatih berjalan sejauh satu kilometer. Air sungai di dekatnya menjadi andalan untuk kebutuhan mandi, minum, dan memasak.
Kakek Sao pernah memiliki seorang istri, namun sudah lama meninggal dunia. Dari pernikahannya itu, Kakek Sao tidak mendapatkan keturunan.
Dari cerita warga setempat, Hasan, Kakek Sao sudah puluhan tahun hidup di lereng gunung dengan gubuk reotnya. "Dia hidup di situ saat masih muda, sejak jaman penjajahan hingga sekarang. Cerita itu kami dapatkan turun temurun dari orangtua kami," tutur Hasan.
Menurutnya, Kakek Sao kadang makan dan kadang tidak. Sesekali Kakek Sao mendatanginya untuk meminta sesuap nasi untuk menyambung hidup. Kakek Sao tidak memiliki apa-apa, dia hanya mengadalkan hidup dari asam yang jatuh dan bambu yang ada di kebun.
Sementara keluarga Kakek Sao tidak pernah samasekali menjenguknya, karena sama-sama dari keluarga kurang mampu. "Baik keponakan maupun keluarganya, mereka tinggal tidak jauh dari sini," terang Hasan. “Kakek Sao sering dikunjungi hanya oleh orang-orang yang peduli saja,” kata Hasan.
[yani]