Pandemi Jangan Jadi Pembenaran PHK dan Pemangkasan Hak-hak Karyawan
AKTUALITA.INFO, KOTA BIMA - Selama masa pandemi Covid-19, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memantau dengan risau perkembangan soal kete...
AKTUALITA.INFO, KOTA BIMA - Selama masa pandemi Covid-19,
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memantau dengan risau perkembangan soal
ketenagakerjaan di industri media. Sejak tahun 2020, dengan alasan krisis
ekonomi yang dipicu oleh pandemi, sejumlah perusahaan media melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Hal itu disampaikan Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan dalam siaran pers yang disampaikan Koordinator Bidang Ketenagakerjaan, Wawan Abk, Rabu (20/1).
Selain pemutusan hubungan kerja, perusahaan media juga melakukan pemangkasan hak-hak karyawan, mulai dari penundaan gaji, penundaan tunjangan hari raya (THR), pemotongan honor, hingga pemangkasan gaji karyawan. Praktik ini masih terus berlangsung hingga kini.
Kebijakan pemutusan hubungan
kerja ini terus berlanjut di tahun 2021 ini. Dalam pantauan AJI, sejumlah media
merumahkan karyawannya dan PHK. Berdasarkan data terbaru yang masuk ke AJI, ada
kasus PHK di The Jakarta Post dan Harian Suara Pembaruan, serta tindakan
merumahkan karyawan di Viva.co.id.
Dari beberapa kasus PHK di
perusahaan media, AJI mengidentifikasi adanya praktik-praktik PHK sepihak.
Proses PHK dilakukan dengan menghubungi secara langsung karyawan secara
personal sehingga prosesnya kurang terpantau dan karyawan terpaksa harus
berjuang sendiri.
Selain itu, AJI juga mencium
indikasi pemberangusan serikat pekerja dalam proses PHK tersebut. Sebab, yang
di-PHK adalah pekerja media yang aktif dalam serikat pekerja atau aktif
menyuarakan hak karyawan. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 20000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, pemecatan terhadap pengurus serkat pekerja
adalah tindak pidana.
Melihat beberapa kasus PHK di
sejumlah perusahaan media ini, AJI menyampaikan sikap:
1. Mendesak perusahaan untuk
terbuka kepada pekerjanya atas situasi atau krisis yang dihadapinya.
Transparansi dan dialog diharapkan dapat membuat pekerja memahami masalah yang
dihadapi perusahaan dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atau lebih
kurang merugikan bagi dua pihak. Perlu dibuka opsi-opsi lain sebelum melakukan
tindakan drastis berupa PHK, misalnya dengan membicarakan kemungkinan
pemotongan gaji jika memang cara itu bisa menjadi solusi yang dianggap bisa
mengatasi keadaan sulit ini.
2. PHK hendaknya menjadi
jalan terakhir yang harus diambil perusahaan untuk menghadapi krisis ini. Tentu
saja harus ada alasan kuat dari perusahaan media dalam mengambil keputusan ini,
misalnya dengan secara transparan menyampaikan situasi keuangannya. Kalau
melakukan PHK sebagai upaya penyelamatan perusahaan, hendaknya keputusannya
menggunakan pertimbangan yang rasional, antara lain dengan memakai parameter
hasil penilaian kinerja karyawan.
3. Jika memang harus menempuh
langkah PHK, maka perusahaan wajib memenuhi hak-hak karyawan sesuai
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena perusahaan
masih menerapkan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
sesuai dengan Undang Undang Ketenagakerjaan, maka sesuai pasal 151 ayat (2),
maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan
pekerja apabila yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja. Apabila perundingan gagal, maka pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (ayat 3). Hingga
saat ini, Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih
dalam proses penyusunan sehingga penyelesaian kasus-kasus ketenagakerjaan tetap
menggunakan UU Ketenagakerjaan.
4. Mengingatkan perusahaan
media untuk tidak melakukan pemberangusan serikat pekerja atau perwakilan
karyawan. Jika yang dirumahkan atau di-PHK adalah aktivis-aktivis serikat
pekerja atau perwakilan karyawan, itu merupakan indikasi kuat sebagai praktik
pemberangusan serikat atau union busting. Pemberangusan serikat pekerja
melanggar pasal 43 Undang Undang Serikat Pekerja, yang ancaman pidananya sampai
5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta.
5. Menyerukan kepada jurnalis
dan pekerja media yang menghadapi masalah ketenagakerjaan, apalagi di-PHK
secara sewenang-wenang oleh perusahaan medianya, untuk mengadukan ke organisasi
wartawan atau lembaga yang punya kepedulian soal ini seperti AJI dan LBH Pers.
Pengaduan juga bisa disampaikan ke Dinas Ketenagakerjaan di daerah
masing-masing agar kasus ketenagakerjaan itu diselesaikan sesuai undang-undang.