Kerja Jurnalis dan Bumbu Intervensi
Jelo D Donggo Kerja Jurnalis dan Bumbu Intervensi Oleh: Jelo Dou Donggo (Alumni STKIP Bima) MEDIA kian bermunculan. Ada yang tampi...
6/05/2016 05:12:00 PM
https://www.aktualita.info/2016/06/kerja-jurnalis-dan-bumbu-intervensi.html
Jelo D Donggo |
Kerja Jurnalis dan Bumbu Intervensi
Oleh:
Jelo Dou Donggo (Alumni STKIP Bima)
MEDIA
kian bermunculan. Ada yang tampil dengan online, ada juga yang offline.
Informasi begitu cepat tersebar, apalagi belakangan ini media online cukup
mewabah di Indonesia.
Media online ibarat virus. Kilatan informasi yang
dilukiskan dalam kanvas lama mereka dilahap para pembaca. Begitu pula dengan
media elektronik dan Koran. Keberadaan media ini sangat dibutuhkan, terutama
bagi mereka yang membutuhkan informasi. Tidak heran jika media sungguh
dibutuhkan dalam berdemokrasi. Bahkan, pers sering disebut sebagai kekuatan
keempat (the fourth estate)dalam struktur kenegaraan, setelah legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
Pertanyaannya, apakah yang membuat pers menjadi
institusi yang ditakutkan? Apakah Informasi?. Bisa jadi seperti itu. Informasi
yang disadur dari narasumber dapat membentuk opini publik (public opinion).
Opini publik ini diperkenalkan seorang wartawan dan ahli politik Amerika
Serikat, Walter Lippmann dalam buku Public Opinion (1922). Buku ini menjadi
penggagas kajian media di AS.
Opini publik dapat ditentukan melalui pendapat
mayoritas yang efektif mempengaruhi pendapat minoritas. Sekali opini publik
terbentuk, akan sangat sulit dihancurkan. Pers menyatakan opininya secara
aktif. Bahkan, dalam berita sekalipun, ada pesan tersirat dan opini wartawan.
Walaupun tidak terang-benderang.
Para tokoh besar dunia pun mengakui kekuatan pers.
Misalkan, Thomas Jefferson (1743-1826). Presiden Amerika Serikat ketiga, masa
jabatan 1801-1809. Ia salah seorang founding father AS dan pencetus Deklarasi
Kemerdekaan (1776). Ia berkata "Saya memilih memiliki pers tanpa negara,
daripada negara tanpa pers.". Begitulah untaian kalimat Presiden Amerika
Serikat ketiga memuji keberadaan pers.
Kaisar, Diplomat dan Panglima perang Perancis,
Napoleon Bonaparte (1769-1821) membuat pernyataan pula tentang pers. Kalimatnya
sampai sekarang menjadi rujukan betapa kuatnya pondasi pers. Ini Kutipan
pernyataan Napoleon Bonaparte. “Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan
yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama
dibandingkan dengan senjata api. Saya lebih takut pada sebuah pena daripada
seratus meriam.” Winston Churchill (1874-1965),
Perdana Menteri Britania Raya pada Perang Dunia II
menyumbangkan kalimat saktinya terkait pers. Ia berkata "Pena lebih tajam
daripada pedang." Benjamin Franklin (1706-1790). Seorang pemimpin Revolusi
AS dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdakaan AS. Ia juga seorang wartawan,
penulis, penerbit, ilmuwan, diplomat, dan penemu. Ia berkata “Bila saja Anda
memberi 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia.” Franklin menegaskan 26
serdadu itu ialah: “Huruf A sampai Z.”
Sebagian besar pernyataan para tokoh dunia ini benar
adanya. Sampai sekarang eksistensi media cukup mempengaruhi suatu kebijakan
karena mampu menggiring opini. Kritik tajam lahir dari pena jurnalis. Tulisan
mereka mampu meluruskan kebijakan yang dianggap tak pro rakyat. Tapi, ada pula
goresan pena yang ”berselingkuh” dengan kebijakan. Intervensi. Itulah kalimay
yang terkadang mengganggu pekerja jurnalis. Misalkan, tulisannya diintervensi
oknum-oknum tertentu. Bahkan, ada pula intrevensi itu datang dari perusahaan,
yang meminta agar tidak terus “menggoreng” suatu peristiwa, perkara, kebijakan,
atau lain-lainnya.
Intervensi yang kerap dihadapkan dengan pekerja
jurnlis berupa ancaman agar tidak lagi memberitakan. Narasumber yang tidak
senang dengan pemberitaan, tidak segan-segan mengumbar kalimat bernada ancaman.
Akan dibunuh, akan dibuat cacat, dan ancaman lainnya. Ancaman yang mengarah
pada kekerasan fisik sudah ada buktinya. Beberapa peristiwa kelam jurnalis
mewarnai demokrasi di Negara ini. Contohnya kasus pembunuhan Udin. Ia diduga
dibunuh karena berita.
Di NTB sendiri ancaman atas pemberitaan ikut dirasakan
kuli tinta. Seperti yang dialami tiga jurnalis media lokal. Mengutip
pemberitaan media online di Mataram, tiga jurnalis yang diketahui bernama Haris
Mahtul,Islamuddin, dan Adi Susanto, mereka pernah diancam dibunuh. Gara-gara
apa? Jawabannya karena menulis pemberitaan korupsi oknum pejabat di NTB.
Ancaman yang diterima cukup serius. Bahkan, gertakan itu membuat bulu kuduk
merinding. Mereka diancam akan dibunuh dan dikarungi.
Peristiswa yang sama dialami wartawan lain. Ketika
meliput pelimpahan tahap dua berkas tersangka kasus korupsi labuhan haji Ichsa
Suaidi, Direktur Citra Gading Aristama, mereka juga diancam. Oknum preman yang
diduga suruhan tersangka (kini terpidana dan sedang diproses kasus suap di MA
oleh KPK) menggertak wartawan yang akan meliput pelimpahan sekaligus penahanan.
Intervensi itu rupanya tak mampu meluluhkan niat para jurnalis yang meliput
penahanan tersebut. Gambar Ichsan yang sedang ditahan terpampang di media.
Berita ancaman juga ikut diselipkan dalam bait berita mereka. (dikutip dari
Lombok Post dan Suara NTB).
Ada juga yang mengalami peristiwa lain. Seperti yang
dialami dua jurnalis Ali Gazali dan Islamuddin. Keduanya diperiksa Propam Polda
NTB lantaran memberitakan oknum polisi menganiaya Satpam sebuah perusahaan di
Mataram. Keduanya dipanggil hanya melalui telepon genggam. Kemudian dimintai
keterangan. Namun, keduanya enggan memberikan keterangan karena dianggap
sebagai bentuk intervensi atas karya jurnalistik.
Apakah intervensi datang dari luar saja? kayaknya
tidak. Ada juga intervensi yang lahir dari internal perusahaan. Serdadu media
yang bekerja di lapangan kerap mendapat gelombang intervensi secara halus dari
pimpinan. Meminta pemberitaan dipending. Alasannya cukup banyak. Ada yang ini
dan yang itu. Akhirnya, berita pun tak jadi dimuat karena dianggap akan
merugikan ini dan itu. Intervensi seperti ini akan mengganggu kerja
jurnalistik. Bahkan, akan membuat pena jadi tumpul. Pena jadi tak bertinta.
Pena layu di tengah jalan. Intervensi ini akan memunculkan banyak pertanyaan.
Masihkah pena jurnalis tajam?. Masihkah pena jurnalis lebih dahsyat dari seribu
serdadu. Jawabannya antara ada dan tiada. (*)