Soal Perppu Hukuman Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual, ini Kata Koordinator FDHI
AKTUALITA.INFO , DOMPU – Polemik terhadap terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang hukuman...
6/07/2016 11:28:00 PM
https://www.aktualita.info/2016/06/soal-perppu-hukuman-kebiri-pelaku.html
AKTUALITA.INFO, DOMPU – Polemik terhadap terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual anak, mendapat perhatian serius dari koordinator Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), Djuyamto SH.
Menurutnya Ketua Pengadilan Negeri Dompu ini, penerapan hukum tidak hanya dilihat dari ketentuan Undang-Undang hukum positif. Tetapi juga dilihat dari sisi filosofis dan sosiologis. "Pendekatan hukum harus dilihat juga dari tiga hal, yaitu yuridis dalam bentuk Perppu, filosofis, dan sosiologis," katanya di Pengadilan Negeri Dompu, Selasa (7/6).
Dari sisi sosiologis, jelas Djuyamto, kondisi masyarakat memang sudah benar-benar sangat geram dengan mencuatnya kekerasan seksual terhadap anak yang akhir-akhir ini terus terjadi. Kondisi demikian lanjutnya, harus bisa dibaca oleh Hakim. Artinya, pendekatan hukum harus dilihat bagaimana reaksi masyarakat dari level biasa sampai elit. Baik di legislatif maupun eksekutif menyambut agar Perppu tersebut dilaksanakan. “Penerapan Perppu kebiri bisa langsung dilaksanakan setelah ditandatangan oleh Presiden,” ujarnya.
Hakim sebagai salah satu dalam konteks penegakan hukum, kata Djuyamto, harus bisa menafsirkan ketiga hal itu. Semangat sebagaimana tertuang didalam Perppu harus bisa ditangkap oleh Hakim. Menurutnya penerapan Perppu kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, harus dilaksanakan berdasarkan syarat pembertan sebagaimana tertuang di dalam Perppu itu sendiri.
Syarat pemberatannya tertuang dalam Perppu sebagaimana yang disajikan oleh Penyidik didalam berkas acara. Kemudian dilihat fakta persidangannya. "Kalau memang terpenuhi syaratnya untuk diterapkan hukuman kebiri bagi terdakwa, kenapa harus ragu-ragu,” tandas Djuyamto.
Terkait dengan adanya pihak-pihak yang menentang karena dianggap hukuman kebiri melanggar hak azasi manusia (HAM) alias tidak manusiawi, kata dia, maka harus dipahami juga bahwa hukum pidana itu bukan saja bertujuan untuk menghukum. Tidak hanya sekedar menyatakan si A dan si B bersalah, tapi juga bermaksud menciptakan sebuah keharmonisan.
“Untuk menciptakan kondisi yang awalnya itu terganggu oleh adanya suatu perbuatan, maka harus ada itu upaya-upaya dan harus dilihat secara luas bahwa tidak boleh lagi terjadi peristiwa seperti itu (kejahatan seksual terhadap anak,” tutur Djuyamto.
Jika hukum dipandang dari aspek HAM, lanjut dia, maka semua upaya dalam penegakan hukum pidana semuanya melanggar HAM, seperti penangkapan, ditahan, dan dipenjara. "Siapa sih yang mau ditangkap, ditahan, kemudian dipenjara? Tapi hukum sudah mengatakan sudah bagian dari penerapan hukum,” kata Djuyamto. “Pertanyaan kemudian, lalau bagaimana dengan HAM orang yang menjadi korban atas kejahatan seksual tersebut? Bukan saja korban yang dipreteli HAM-nya, namun juga keluarga dan masyarakat luas. Jangan kita berpikir tentang HAM saja, melainkan harus berpikir juga tentang kewajiban azasi manusia,” katanya lagi.
Kesalahpahaman selama ini, urai Djuyamto, selalu menonjolkan HAM, sementara kewajiban azasi manusia diabaikan begitu saja. Menurut dia hidup itu bukan saja berbicara hak, melainkan juga harus berbicara kewajiban.
Djuyamto mencontohkan, kewajiban seseorang harus juga menjaga kewajiban hak orang lain, maka itu akan seimbang. Jika dalam ilmu negara papar dia, berdirinya sebuah negara termaktub di dalam teori Ketuhanan dan teori kedaulatan rakyat. Dalam teori kedaulatan rakyat, disitu muncul hak dan kewajiban yang harus sama-sama dijalankan. "Kalau keduanya berjalan seiring dan sejalan, maka kondisi negara akan seimbang. Disitulah fungsi hukum pidana, yakni mengembalikan bandul seperti keadaan semula,” terangnya
[yani]