Ahli Biologi Amerika, Prihatin Akan Ancaman Kepunahan Elang Flores di Bima
Ahli Biologi Reptor Amerika Serikat, Tim RCS dan pemerhati reptor lokal di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabuoaten Bima. Pemasangan GPS p...
Ahli Biologi Reptor Amerika Serikat, Tim RCS dan pemerhati reptor lokal di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabuoaten Bima. Pemasangan GPS pada elang Flores akan dilakukan 22-26 Mei 2024. |
Aktualita, Bima - Seorang Ahli Biologi Reptor, Amerika Serikat, Kara Beer, awal Mei 2024 ini melihat kondisi alam di Bima serta keberadaan sejumlah Elang Flores (Nisaetus floris) di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ancaman terbesar di depan mata hilangnya habitat mereka.
Kara Beer melihat sendiri kondisi hutan dan pegunungan di Bima yang dibabat habis untuk ladang. Diantara hutan yang tersisa di Desa Kaowa, masih terdapat sarang aktif Elang Flores dan mungkin juga akan segera punah.
“Saya ahli biologi raptor dari AS. Saat melakukan perjalanan keliling Indonesia, saya berkesempatan bertemu dengan Usep Suparman dari Raptor Censervation Society-Bogor indonesia dan timnya untuk memantau sarang aktif Elang Flores yang terancam punah di Bima. Kami melakukan perjalanan ke pegunungan melewati banyak desa kecil. Perjalanan itu memberi kami pemandangan luas ke seluruh lembah dan lereng bukit di sekitarnya. Jagung dan ladang pertanian lainnya menyelimuti daerah tersebut, dan terdapat banyak desa dengan bangunan, lalu lintas, dan manusia di antaranya. Dan di seluruh lanskap tersebar beberapa bagian kecil hutan asli yang terisolasi. Habitat Elang,” ujarnya.
Cerita yang diperolehnya dari Tim RCS, bahwa ancaman terbesar terhadap FHE dan penyebab terbesar penurunannya adalah hilangnya habitat. Burung-burung tersebut bergantung pada hutan asli ini untuk membangun sarang, membesarkan anak-anaknya, dan mencari makanan.
“Sebagai spesies yang sangat sensitif, mereka tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan drastis pada lanskap tempat mereka hidup,” terangnya.
Suparman dari RCS dan timnya, kata Kara Beer, saat ini berada di garis depan dalam melestarikan spesies ini. Selain pengumpulan data ilmiah yang akan menjadi masukan bagi strategi konservasi, mereka juga mendidik dan melibatkan komunitas lokal yang hidup berdampingan dengan spesies-spesies tersebut.
“Saat bertemu dengan pemimpin Desa Kaowa, kami menunjukkan kepadanya bahwa melindungi spesies ini dan ekosistem yang dibutuhkannya untuk berkembang dapat memberikan nilai dalam berbagai bentuk - salah satunya adalah pariwisata dari pengunjung hingga ke Amerika Serikat!,” tegasnya.
Mungkin bagian paling efektif dari tugas tim ini, kata Kara Beer, adalah perjuangan mereka untuk mengubah kebijakan dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memulihkan lahan yang telah hilang. Melindungi habitat hutan tambahan agar tidak diubah menjadi lahan pertanian. “Elang Flores terancam punah selamanya,” ucapnya.
GPS Tracking
Raptor Censervation Society-Bogor Indonesia, Usep Supratman, mengatakan, Elang Flores (Nisaetus floris) adalah spesies terancam punah yang hanya menempati sisa hutan terakhir di Pulau Sunda Kecil, Indonesia. Saat ini kajian mengenai wilayah jelajah dan pemanfaatan habitat Individu Elang Flores (Nisaetus floris) dengan menggunakan pelacakan GPS belum bersifat informasi dan hanya mencatat perkiraan wilayah jelajah pada suatu titik, data dasar yang terbatas.
Kata Usep, oleh karena itu, upaya mempelajari luas wilayah jelajah dan menentukan struktur habitat dengan menggunakan pelacakan GPS sangat diperlukan mengingat tren penurunan populasi Elang Flores. Metodologi yang digunakan adalah penangkapan Elang Flores dewasa menggunakan perangkap jaring busur (bownet trapping) pengukuran morfologi, dan pemasangan GPS-tracked. Keluaran yang diharapkan disediakan sebagai data dasar untuk masa depan Elang Flores seukuran wilayah jelajahnya bersama dengan pemantauan yang dapat diterapkan secara luas untuk mengidentifikasi prioritas konservasi spasial dalam lanskap.
“Informasi yang akurat mengenai perilaku jelajah Elang Flores diperlukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang ukuran wilayah jelajah, preferensi habitat, dan potensi perpindahan antar pulau. Hal ini dapat memberikan masukan bagi pemahaman kita mengenai demografi spesies dan dinamika populasinya, serta secara langsung memberikan informasi mengenai kebutuhan dan tindakan konservasi bagi spesies tersebut,” terangnya.
Tujuan untuk menggunakan pelacakan GPS elang Flores dewasa, kata Usep Supratman, untuk cepat meningkatkan pemahaman tentang kebutuhan habitat mereka. Hal ini akan membantu mengurangi gangguan manusia dan menginformasikan konservasi mereka.
“Misalnya, di Desa Kaowa terjadi peningkatan hilangnya habitat akibat pengembangan pertanian jagung, meskipun hal ini mungkin menimbulkan ancaman terhadap spesies tersebut, pembukaan hutan diperkirakan dapat meningkatkan wilayah perburuan dan menguntungkan elang. Memahami preferensi habitat Elang Flores sangat penting dalam mengelola potensi ancaman seperti ini, khususnya di wilayah yang dekat dengan kawasan lindung,” ungkapnya.
Kerusakan yang Dibiarkan
Pemerhati Reptor dari Sindikat Bima, Abdul Azis, bersama rekannya telah lama mencoba untuk melindungi habitat Elang Flores yang tersisa saat ini, salah satunya di Desa Kaowa. Para pihak sejauh ini dianggap tidak pernah peduli akan keberadaan sejumlah habitat yang teramcam punah, akibat keserakahan menghabisi hutan-hutan.
Dia juga sangat mengapresiasi Ahli Biologi Reptor, Amerika Serikat, Kara Beer dan Raptor Censervation Society-Bogor indonesia yang mennjukkan kepedulian akan hilangnya salah satu reptor yang dilindungi. “Saat kami membawa mereka untuk melihat sarang aktif Elang Flores yang tersisa di Kaowa, mereka melihat sendiri betapa massif, kerukasakan yang ada. Betapa diamnya kita dengan kerusakan itu, bahkan seperti menutup mata,” sesalnya.
Kata pria yang disapa Gizan ini, Kara Beer dan Usep Supratman, dapat melihat pembabatan hutan yang masih berlangsung saat melintasi pegunungan Kaowa. “Kami hanya bisa mengelus dada, tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Harapan kami, para pihak pemegang kebijakan, dapat melihat realitas saat ini. Karena ancaman kerusakan lingkungan sudah di ujung mata,” tandasnya.
[akt.01]